Rss Feed
  1. Pria di Persimpangan

    Thursday, September 13, 2012


                “Sampai kapan kau akan menunggunya?”

                “Selamanya,” katanya lalu tertawa canggung. “Aku punya seluruh waktu di dunia ini.”

                Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Tidak baik kalau begini terus. Pergilah.”

                “Aku tidak bisa,” katanya tenang. “Aku ingin bertemu lagi dengannya. Kalau aku pergi mungkin dia akan datang dan aku akan melewatkannya.”

                Aku menghela napas panjang. “Baiklah. Terserah kau. Aku ke sekolah dulu kalau begitu.”

                “Ok. Belajar yang rajin,” katanya lalu melambai padaku. Aku membalas lambaiannya dan segera pergi ke sekolah.

                Aku pertama kali melihatnya di sana 3 bulan yang lalu. Dia selalu ada di sana, di perempatan itu. Duduk dengan tatapan mata awas, mengamati setiap orang yang lewat. Dia menunggu seseorang untuk lewat. Menunggu satu pertemuan kembali.

                “Apa kau yakin dia akan lewat di sini?” tanyaku.

                “Yakin. Di tempat inilah kami pertama kali bertemu. Aku menabraknya di tikungan ini. Barang-barangnya jatuh berantakan dan dia marah-marah.”

                Dia tertawa sebentar lalu melanjutkan, “Terdengar seperti naskah film murahan? Tidak, itu sungguh terjadi. Setelah itu aku meminta maaf dan menawarinya makan siang. Dia setuju dan dari sana kami mulai berhubungan.”

                “Lalu, bagaimana hubungan terakhir kalian?”

                Dia menatap kosong ke depan. “Dia menghilang. Sehari sebelum pernikahan kami. Hilang begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa petunjuk.”

                Aku mengalihkan tatapanku darinya. Aku merasa iba, tapi jujur tidak tahu harus bagaimana.

                “Kau akan terus menunggu?”

                “Ya. Toh aku punya seluruh waktu di dunia ini. Bukankah ini waktunya kau bersekolah? Pergilah.”

                Aku melirik jam tanganku. Dia benar. Aku pun berpisah darinya.

                Minggu berikutnya aku terkejut ketika dia tidak lagi duduk di perempatan.

                “Dia sudah pergi?”

                “Oh, Lisa. Ya, dia sudah pergi.”

                “Sudah bertemu orang yang dia tunggu?”

                “Belum. Hanya saja sudah waktunya bagi dia untuk memasuki tahap selanjutnya. Kau tahu apa maksudku kan?”

                Aku mengangguk.

                “Yeah, aku pergi dulu. Masih ada 212 roh yang harus kutangani hari ini. Kalian manusia, kenapa sih begitu tidak rela untuk mati?”

                Aku mengangkat bahu. “Mungkin karena kami memang bukan dirancang untuk mati.”

                “Hahaha… Ya, salah kalian sendiri sampai bisa mati seperti sekarang. Ok, aku pergi dulu kalau begitu.”

                “Ya, selamat bertugas, Malaikat Frans. Semoga harimu menyenangkan.”


  2. Amore: Des(c)isionAmore: Des(c)ision by Almira Raharjani
    My rating: 1 of 5 stars

    Des(c)ision bercerita tentang Desi, seorang mahasiswi, yang memutuskan untuk berpisah dari kekasihnya, De. Baginya De bukanah pria yang tepat. Desi sama sekali tidak merasakan hubungan mereka adalah "pacaran" tapi lebih sebagai "teman".

    Dengan dorongan sahabatnya, Cindy, Desi pun akhirnya putus dari De. Masalah muncul setelah itu karena Desi merasa menyesal telah putus dari De. Satu per satu masalah bermunculan akibat perpisahannya itu. Bagaimana Desi akan mengatasinya?

    Jujur buku ini sebenarnya hasil "pilihan acak". Saya mengambilnya karena ingin tahu "Amore", line baru GPU, itu seperti apa. Ternyata Amore itu line untuk buku-buku percintaan dengan rentang usia karakter 20-30 tahun.

    "Terus, bedanya sama Metropop apaan?"

    Ini jawabannya dari Gramedia:

      Photobucket


    Sudah jelas?

    Nah, dari sini sudah muncul masalah. Tokoh utama di Des(c)ision sih memang di rentang usia segitu, tapi tingkah lakunya lebih cocok masuk kategori Teenlit.

    Desi selaku tokoh utama sangat mudah terbawa arus. Tidak tegas juga mudah histeris yang kekanak-kanakan. Bagian histerisnya itu yang bikin dia sangat tidak cocok masuk dalam tokoh Amore (yang saya harapkan lebih dewasa sifatnya ketimbang tokoh-tokoh teenlit).

    De (can you believe there is someone named 'De'?) juga kurang saya sukai sebagai the leading man. Dia kurang banyak muncul dan kelihatannya digambarkan sempurna banget. Masih muda, wirasatawan yang cukup sukses, dewasa (yang ini masih patut dipertanyakan), dan "gentleman". Dia bahkan rela mengurusi (menjadi figur ayah bagi) anak "sahabatnya" yang meninggal saat proses melahirkan.

    Harus kuakui, saya tidak simpatik dengan semua tokoh di buku ini.

    Desi -> whine, whine, tears, more whine. Kalau tidak sedang merajuk, pasti lagi histeris.
    De -> Mr. Perfect yang katanya dewasa dan pendiam, tapi image yang saya peroleh justru sebaliknya. Kayaknya dia cerewet banget deh.
    Anggi -> the bitch sister.
    Fifi -> awalnya saya suka, tapi di belakang dia menjengkelkan. Lagian dia umur berapa sih? Pertama muncul kukira SD, tapi kayaknya anak SMA.
    Cindy -> the bitch "bestie".
    Linggar -> the trouble maker.

    Cara berceritanya juga relatif pendek-pendek mirip teenlit. Secara keseluruhan, ini bukan perkenalan yang begitu baik dengan Amore buat saya.

    Plus poin ada di cover. Beautiful cover. Credit for the designer.

    View all my reviews

  3. Review Novel: Fleur -Fenny Wong

    Wednesday, September 12, 2012


    FleurFleur by Fenny Wong
    My rating: 3 of 5 stars

    Fleur bercerita tentang takdir cinta segitiga di antara 3 makhluk. Sang Dewa Bumi dan Peri Bunga yang saling mencintai dan Dewa Matahari yang menginginkan cinta Peri Bunga yang membuatnya menghalalkan segala cara.

    Takdir cinta di antara mereka terus berlanjut hingga reinkarnasi-reinkarnasi selanjutnya dan kini tiba pada garis darah 3 orang. Florence Ackerley, George Ackerley, dan Alford Cromwell. Florence yang mencintai kakak angkatnya, George, mengetahui takdir di antara mereka bertiga. Dia berniat untuk melindungi George dari kematian yang menjadi takdir Dewa Bumi. George yang kemudian tahu akan hal ini berusaha sekuat tenaga untuk merubah takdir itu. Mampukah mereka?

    Fleur, buku yang saya beli setelah terpapar promo langsung penulisnya :))

    Saya suka dengan jalinan ceritanya. Penulis terlihat paham akan setting era yang dia pilih (yang kayaknya terinspirasi Inggris zaman Victoria. CMIIW). Baik dari segi pakaian, kehidupan pribadi, hingga sosial terasa masuk akal dan terjalin dengan baik. Cuma saya tidak tahu sih, apa zaman Victoria dulu hubungan cinta antara kakak-adik angkat dianggap tabu atau tidak. Oh well, kalau di dunianya si penulis dianggap tabu, ya biarlah.

    Pertanyaan utama saya berhubung soal ceritanya sendiri adalah: siapa sih yang nulis tuh buku dongeng yang Florence punya? Penasaran aja :))

    Masih ada sedikit typo dalam cerita. Seperti kata "dibalik" yang harusnya "di balik" (hal. 71) dan kata "istir" yang harusnya "istri" (hal. 288). Selain itu ada satu kata yang rasanya kurang tepat penggunaannya (rasanya typo dengan kata yang mirip), tapi saya lupa kata apa dan di halaman berapa :s

    Sebenarnya nilainya 3.5 dan harusnya dibulatkan ke atas, tapi ada satu faktor yang membuat saya memberi nilai 3. Hasil cetakan bukunya terasa "kotor" buat saya. Ada halaman-halaman dengan noda-noda kecil berwarna kuning stabilo. Ada halaman dengan garis tipis putus-putus warna hitam di beberapa halaman. Ada lagi halaman lain yang seperti ada bercak tintanya (walau cuma tipis dan kecil sih). Buat saya itu berantakan banget. Gak tahu deh apa cuma di buku saya atau di buku lain juga.

    Dan.... Selamat buat Fleur yang menjadi buku ke-400 yang saya rate di Godreads ini :)
    *kasih tepok tangan

    Selamat juga buat novel barunya Fenny Wong ini (yang kayaknya bakal nerbitin buku baru lagi dalam waktu dekat).

    View all my reviews

    Ingin dapat buku Fleur ini secara gratis? Atau buku "Hanami" karya penulis yang sama? Cek post http://fennywongjournal.blogspot.com/2012/09/giveaway-spree-whee.html">ini

  4. Gajah Mada (Gajah Mada, #1)Gajah Mada by Langit Kresna Hariadi
    My rating: 3 of 5 stars

    Akhirnya. Selesai juga baca buku "Gajah Mada" karya Pak Langit Kresna Hariadi ini. Butuh 2 minggu bo. Gara-gara sibuk juga sih, makanya baca buku ini jadi tersendat-sendat :D

    Btw this is one long rant, so brace yourself.

    Pada dasarnya buku pertama serial Gajah Mada ini bercerita mengenai bagaimana Gajah Mada memimpin pasukannya untuk merebut kembali tahta Jayanegara, raja Majapahit, yang direbut karena pemberontakan para Rakrian Dharmaputra Winehsuka, yang dipimpin oleh Ra Kuti.

    Dalam usahanya itu Gajah Mada berhadapan bukan hanya dari tekanan Ra Kuti, tapi juga tekanan dari dalam kelompoknya sendiri, karena ternyata ada seorang pengkhianat yang memihak pada Ra Kuti dan membocorkan setiap informasi yang Gajah Mada miliki.

    Novel Gajah Mada ini dari segi penceritaan boleh saya bilang "belepotan". Maksudnya, POV yang dipakai adalah POV bebas. Alias bergerak dari satu sudut pandang ke sudut pandang lainnya. Apa yah istilah POV ini? Sudut pandang tahu segala?

    Permasalahan dengan POV ini terletak pada orang-orang yang diambil sudut pandangnya oleh Pak LKH. Bukan hanya Gajah Mada, pasukan Bhayangkara, dan kelompok Ra Kuti yang dia pakai POV-nya, bahkan kadang tiba-tiba orang yang ada di jalan pun bisa dipakai sudut pandangnya. Hal-hal seperti ini agak mengganggu menurutku dan sebenarnya tidak terlalu perlu.

    Ceritanya sendiri menurut saya cukup enak untuk diikuti. Bagian depannya memang agak lambat, tapi masuk ke halaman 200-an akhir ke belakang, tempo membaca saya makin cepat.

    Mengenai tokoh-tokoh yang ada, berhubung ini cerita perang yang melibatkan satu kerajaan, tidak heran ada banyak sekali karakter. Buat saya tokoh-tokohnya tidak ada yang terlalu menonjol. Ya, bahkan Gajah Mada yang harusnya jadi tokoh utama novel ini. Dia tidak terlalu punya "personality" menurut saya. Malah orang semacam Ra Tanca, salah seorang Winehsuka, lebih membekas buat saya.

    Selain itu, karakter-karakter yang mati dalam novel ini, semacam Risang Panjer Lawang dan Singa Parepen, mungkin harus lebih diberi porsi. Apalagi pas Panjer Lawang tewas dibunuh si pengkhianat. Reaksi saya cuma, "Um, ini siapa yah?". Soalnya dia sama sekali gak ada peran di depan, tahu-tahu tewas. Gak emosional deh matinya. Si Parepen juga harusnya lebih diberi porsi dan kalau bisa dibuat agar mendapat tempat tersendiri di hati pembaca sejak awal.

    Satu lagi soal karakter. Si Kalagemet, alias Raja Jayanegara, dia ini raja kan? Harusnya raja juga dapat pendidikan politik dan seni perang gitu kan? Dan minimal kalau dia raja, harusnya dia punya "aura" atau kebijaksanaan tersendiri. Hal itu tidak saya lihat di sepanjang buku ini. Dia cuma mengeluh, lari, bersembunyi, yang mana memang poin dari pelariannya. Minimal tunjukan kalau dia punya kualitas raja kek. Ini sama sekali tidak kelihatan. I just think of him as one whiny king.

    Satu keluhan terbesar saya untuk buku ini adalah di pemilihan katanya. Banyak kata-kata "asing" (Jawa mungkin?) yang tidak ada terjemahannya. Saya lihat di daftar kata-kata di belakang juga tidak ada. Terus maksud kata-kata ini apa? Mungkin lain kali pakai bahasa Indonesianya saja Pak LKH. Tidak harus pakai bahasa Jawa saat itu kok.

    Terus soal Ra Kuti. Dia kalau saya lihat tipe tokoh jahat yang sebenarnya bukan tokoh jahat utama. Kalau kulihat dia kayaknya cuma boneka. Ada orang lain lagi yang mengendalikannya, tapi saya tidak yakin soal ini. Tidak ada konfirmasi bahkan hingga akhir buku.

    Karakter lainnya yang jadi sorotan saya adalah Ra Tanca. Apa tujuannya bergabung dalam kelompok pemberontak ini? He is not that type of guy. Kayaknya dia punya rencana lain (atau apa soal keinginannya untuk menikahi seorang wanita adalah motif utamanya? Kalau memang ini motifnya, maka enggak banget deh). Di bagian akhir ada sedikit terkuak tentang dia, tapi tetap saja itu masih sebuah tanda tanya besar. Apa soal ini akan dibahas di buku 2? Mari kita lihat.

    Secara keseluruhan, buat saya buku ini masih enjoyable dan menarik. Feel-nya dapat dan soal bagaimana Ra Kuti tumbang juga believable untuk saya. Cuma mungkin soal POV, pemilihan kata, dan karakter saja yang agak bermasalah. Tapi bahkan dengan masalah-masalah itu pun, buku ini tetap menarik.

    View all my reviews

  5. Giveaway: Dan Hujan Pun Berhenti

    Saturday, September 8, 2012

    Tidak terasa sudah masuk ke bulan September. Padahal rasanya baru kemarin merayakan tahun baru, eh tahu-tahu udah masuk September. Btw kalau memasuki September, itu berarti sudah mau musim hujan. Saatnya jaga kesehatan dan persiapan untuk daerah-daerah yang rawan banjir.

    Na, bicara soal hujan, ada 1 novel dengan tema hujan yang terkenal di Indonesia. Judulnya "Dan Hujan Pun Berhenti". Novel hasil karya pemenang Khatulistiwa Literary Award untuk Penulis Muda Berbakat ini sudah cetak ulang delapan kali (!) pada April 2012. Pengen novelnya? Tinggal isi form Rafflecopter di bawah ini :)

    Catatan: novel yang akan didapat nantinya novel yang sudah tidak terbungkus plastik dari percetakan, tapi kovernya sudah dibungkus plastik dan kondisi bukunya juga masih oke :)


    a Rafflecopter giveaway


    Aturan giveaway:

    1. Peserta berdomisili di wilayah Indonesia.
    2. Silahkan mengisi kolom rafflecopter di atas.
    3. Giveaway berlangsung sampai tanggal 7 Oktober 2012.
    4. Pemenang saya pilih berdasarkan kelengkapan mengisi rafflecopter dan jawaban akan pertanyaan kuis. Keputusan pemenang tidak dapat diganggu gugat.
    5. Bila dalam 48 jam tidak ada respon dari si pemenang, maka saya akan memilih seorang pemenang baru.



  6. 2012: Last Evolution2012: Last Evolution by Bagas Prasetyadi
    My rating: 2 of 5 stars

    Sempat kecele sama buku ini. Awalnya saya pikir novel, eh, tahunya komik. Ngomong dong kalau komik. Tapi, sudahlah. Tidak apa-apa. Belinya juga di obralan :))

    Komiknya lumayan. Gambarnya bagus. Ceritanya sendiri lumayan menarik menurut saya. Ceritanya seperti 7 Seeds x Heroes. Masalahnya, menurut saya, komik ini dipaksakan untuk selesai dalam 1 buku saja. Masalah yang ada jadinya selesai secara terburu-buru dan kurang memuaskan. Bagusnya sih kalau dibuat beberapa seri, cuma mungkin penerbitnya yang enggak mau kali yah kalau diterbitkan berseri. Sayang sebenarnya...


    View all my reviews