Rss Feed
  1. Sayembara TebuSayembara Tebu by Jamil Massa
    My rating: 4 of 5 stars

    Judul: Sayembara Tebu
    Penulis: Jamil Massa
    Penerbit: Ganding Pustaka
    Halaman: 85 halaman
    Terbitan: April 2016

    Sebuah buku kumpulan puisi yang ditulis Jamil Massa. Memuat 57 puisi yang beberapa di antaranya pernah terbit sebagai tulisan lepas di sejumlah media massa seperti Riau Pos, Media Indonesia, Indopos, Koran Tempo, Kompas, dan Jurnal Sajak.

    Puisi-puisi dalam buku ini mengambil tema besar tentang manusia masa kini yang menatap dan mengidentifikasi dirinya lewat pelbagai kilatan masa lalu, lingkungan hidup, hubungan sosial dan perjalanan asmara. Jamil Massa berusaha mengetengahkan tema-tema yang kental akan aroma Sulawesi yang merupakan bagian inheren dalam dirinya. Dalam buku puisi ini Jamil Massa menyuguhkan pemberontakan sekaligus permainan kecil dengan bahasa, seni, dongeng-dongeng lokal, absurditas manusia perkotaan dan pahit manis cinta


    Review

    Sebuah kumpulan puisi yang mewah dengan berbagai nilai kedaerahan. Jamil Massa tampak mengambil banyak inspirasi dari Gorontalo, tempatnya lahir dan tumbuh. Berbagai daerah, permainan, cerita, hingga jenis ikan dan sayur dapat menjadi puisi di tangan sang penulis.


    Diksi yang digunakan juga cukup "mewah". Dalam artian, saya rasa sebagian besar pembaca (termasuk saya) akan sering membuka kamus karena kayanya pilihan kata yang digunakan. Hal ini toh tidak mengganggu alur puisi yang ada. Kalau pun pembaca tidak tahu arti katanya dan tidak ingin membuka kamus, pembaca tetap akan disuguhi sebuah puisi yang mengalir dengan rima yang enak di telinga.

    Di sini saya tuliskan satu puisi dari buku ini:

    Pemanen Kangkung Air

    Apakah air danau semakin surut
    atau kegembiraan yang terlampau dangkal?

    Di Tabumela, gerimis bukanlah ajaran yang mesti dibela.

    Peradaban mengapung
    dan lantai papan selalu bergetar
    tak peduli apa pun musimnya.

    Alap-alap kerap hinggap di puncak tonggak
    mengincar geliat sidat di serabut akar tumbili
    yang hitam silang sengkarut serupa nyali.

    Ayunkan, Tuan. Ayunkan parangmu
    tebaslah hijau kulit batangku.

    Sebab kapan terakhir kali kau ke kota
    dengan sepasang keranjang rotan
    dan sepuhan karat pada rangka sepeda?

    Tak pernah lagi kita menakar hakikat bawang putih
    atau membuhul tulang panggul yang meretih-retih.

    Barangkali, kota telah tak kuat menanggung beban
    layu seperti batang-batang kangkung
    yang berimpit dalam ikatan.

    Atau mungkin kegembiraan saja yang terlampau dangkal?
    Hasrat saja yang tak terhingga, selalu tak tersangkal.

    Tuan yang memegang parang, kita sedang berada di Tabumela.
    Di sini, matahari adalah cinta yang tak harus diberi jeda.

    Gorontalo, 2014


    View all my reviews


  2. 2 comments :

    1. Hapudin said...

      Puisi yang dipilih keren sekali. Mungkin, saya menafsirkannya, kalau si pemanen kangkur air bekerja di wilayah panas, dan ada kegiatan ia harus menjualnya ke kota. Kerasa sekali sosok pemanen tadi melalui hidup yang melelahkan. Hehehe

    2. Puisi yg membawa kita tenggelam di Tabumela

    Post a Comment